Minggu, 22 November 2015

Pendidikan Menjawab Tantangan MEA : Refleksi menjelang hari Guru tahun 2015

Bersama Prof. Dr. Rosnani Hasyim,
Dekan Fakultas Pendidikan IIUM, Malaysia di kantor beliau
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau disebut juga ASEAN Economic Community (AEC) akan dimulai pada akhir Bulan Desember tahun ini (2015). Dengan adanya MEA, maka akan terjadi arus mobilitas barang, jasa serta tenaga kerja antarnegara di wilayah ASEAN yang berlangsung secara bebas. MEA dirancang untuk menjadikan ASEAN sebagai satu kekuatan ekonomi besar agar mampu bersaing dengan Cina dan India. Bersatunya negara-negara di ASEAN dibutuhkan agar dapat menarik modal asing guna meningkatkan geliat ekonomi dan pembukaan lapangan kerja baru.
Tujuan dibentuknya MEA sangat bagus dan akan berdampak positif bagi negara-negara anggota ASEAN. Namun setiap negara harus siap dengan persaingan yang berlangsung. Pastinya, persaingan itu bisa melumpuhkan pihak-pihak yang tidak siap dan kalah dalam kualitas. Sedangkan negara tidak lagi bisa memberikan proteksi sepertihalnya sebelum berlangsungnya MEA.
Begituhalnya dengan persaingan tenaga kerja. MEA menyebabkan tipisnya batas antar negara sehingga tenaga kerja dari manapun se ASEAN bebas untuk keluar masuk sebuah negara di ASEAN guna memperebutkan posisi dalam pekerjaan. Sebab, seiring dengan meningkatnya investasi akan diikuti dengan rekrutmen tenaga kerja yang akan ditentukan oleh kebutuhan dan keuntungan yang diharapkan. Walaupun faktor budaya serta kebijakan pemerintah tetap akan berpengaruh, nampaknya persaingan bebas tenaga kerja antar negara tetap tidak bisa dihindari.
Kualitas tenaga kerja sangat ditentukan oleh proses pendidikan yang berlangsung. Bongkar pasang kurikulum sebagaimana yang terjadi di Indonesia menyebabkan kualitas hasil lulusan lembaga pendidikan tidak merata. Kurikulum yang dipakai masih menjadikan mata pelajaran sebagai tujuan pokok, bukan sebagai alat kecakapan hidup. Sebagai contoh pelajaran IPS di SMP, siswa dibebani untuk menghafalkan pengertian nilai dan norma sosial dari berbagai ahli, ciri-ciri, jenis dan macam, tujuan serta hal-hal lainnya. Sedangkan kecakapan dalam melaksanakan nilai dan norma terlupakan. Akibatnya, pelajaran IPS yang seharusnya mampu memberikan bekal hidup bermasyarakat tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya.
Ketika berkesempatan ke Malaysia pada bulan Desember 2014, saya melihat negara ini sangat siap menghadapi MEA. Tenaga kerja dari berbagai negara sudah memenuhi berbagai ruang pekerjaan disana. Sedangkan warga Malaysia tidak merasa tersaingi yang berarti mereka sudah mapan dengan posisinya.
Saat itu kami dijemput oleh mas Zulfan Haidar, beliau direktur akademik IIUM Lower Education Malaysia yang membawahi beberapa sekolah mulai dari PAUD hingga SMA. Sekolah sekolah ini walaupun dibawah IIUM (International Islamic University of Malaysia) namun menggunakan kurikulum Cambridge dan menerima siswa non Muslim dari berbagai negara.
Yang menarik mas Zulfan Haidar adalah warga Negara Indonesia. Sempat saya bertanya tentang kualitas pendidikan di Malaysia yang di Indonesia masih sering diremehkan. Jawab beliau “lihat saja kehidupan orang Malaysia, mengenai kedisiplinan, kebersihan dan etos kerja nya. Jika lebih baik maka berarti hasil pendidikan disini –Malaysia- lebih bagus”. Memang di Kualalumpur dan sekitarnya, masyarakat nampak sangat terbiasa antri, menjaga kebersihan dan bekerja sesuai waktunya.
Satu hal yang secara jelas memperlihatkan lulusan Indonesia kalah dengan Malaysia adalah dalam penguasaan bahasa asing terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Jika lulusan S1 Indonesia sebagian besar masih kesulitan menggunakan bahasa Inggris, lulusan SD di Malaysia sudah cukup mahir untuk menggunakannya. Padahal penguasaan komunikasi menjadi syarat penting dalam pertarungan global.
Membandingkan Indonesia dengan Malaysia bukan untuk sekedar menghasilkan kesimpulan bahwa murid Indonesia itu sudah lebih baik daripada gurunya. Namun yang paling utama adalah bahwa Indonesia harus berbenah. Bagaimanapun MEA sudah diputuskan untuk dijalankan mulai tanggal 31 Desember 2015. Indonesia bahkan menjadi inisiator untuk mempercepat MEA yang sedianya dilaksanakan tahun 2020.
Tentunya persaingan yang akan berlangsung tidak akan terjadi dengan seketika, walaupun akhir tahun ini sudah berjalan.  Sebab masing-masing pihak akan mengukur diri, menyesuaikan dan berhati-hati untuk bertindak. Berarti kita masih punya waktu untuk memperbaiki setiap hal yang kurang.
Salah satu tugas dari institusi pendidikan adalah mempersiapkan anak didiknya agar mempunyai kemampuan dan keberanian untuk bertarung. Disinilah peran guru dibutuhkan. Apapun keputusan pemerintah berkaitan dengan kurikulum ataupun kebijakan lainnya semestinya tidak membuat dunia pendidikan mengalami stagnasi. Sebab dalam pelaksanaannya, guru tetap diberikan fleksibilitas yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah peserta didiknya. Memang sangat disayangkan gema MEA belum bergaung di kelas-kelas, ataupun jika sudah,  getarannya sangatlah kecil.
Menjelang hari guru tahun 2015 ini, para guru harus bangkit semangatnya. Bangsa ini membutuhkan para guru untuk memberikan motivasi, kemampuan, kecakapan, dan keterampilan bagi putra-putra bangsa untuk memenangkan setiap pertarungan. Para guru harus menjawab tantangan MEA dengan optimisme bahwa Indonesia pasti mampu berbuat, bukan sekedar untuk bertahan namun untuk meraih kemenangan.  

Oleh : Muhamad Anantiyo Widodo, SE (Kepala SMP IT Cahaya Insani Temanggung)

Tags :

bm

anantiyo

Pencari Inspirasi

Hikmah atau inspirasi adalah kekayaan yang menghidupkan akal, memperkuat insting kebijakan, dan mengkaryakan bakat .

  • anantiyo
  • M Anantiyo Widodo
  • anantiyo_widodo
  • anantiyo.widodo@gmail.com
  • Anantiyo Widodo

Posting Komentar